Beranda | Artikel
Sirah Nabi 25 - Gangguan Kaum Musyrikin Quraisy Terhadap Dakwah Nabi
Selasa, 12 Februari 2019

Gangguan Kaum Musyrikin Quraisy Terhadap Dakwah Nabi

Kaum kafir Quraisy tidak hanya menolak dakwah Nabi ﷺ namun mereka mencoba melakukan perlawanan. Ada beberapa metode yang mereka lakukan untuk menghentikan dakwah Nabi. Namun secara umum ada dua metode besar yaitu metode menyerang secara psikologi/mental dan metode menyerang secara fisik.

⑴ Menyerang secara psikologi

Misalnya dengan mengejek Nabi dengan ejekan-ejekan yang tidak benar. Oleh karena itu, istihza’ (ejekan) ini dilakukan oleh pengikut para Nabi terhadap Nabi-Nabi mereka, diantaranya kepada Rasullullah. Kita dapati di dalam Al-Qurān berbagai macam model ejekan yang mereka berikan kepada Nabi. Allah berfirman,

لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ

“Ketika mereka mendengar Al-Qurān mereka berkata, ‘Dia (Muhammad) adalah benar-benar orang gila’.” (QS Al-Qalam : 51)

Atau mereka menuduh nabi sebagai pendongeng yaitu kisah-kisah yang termaktub dalam al-Qur’an dikatakan sebagai dongeng-dongeng kuno. Allah berfirman :

وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا (5)

Dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang” (QS Al-Furqon : 5)

Diantara panggilan lain yang diberikan kepada Nabi Muhammad yaitu mereka menggelari beliau dengan penyihir dan pendusta. Allah berfirman,

وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ

“Orang-orang kafir berkata, ‘Orang ini adalah penyihir yang banyak berdusta’.”(QS Shad : 4)

Mereka berusaha mempengaruhi manusia agar meninggalkan Muhammad. Seakan-akan mereka mengatakan, “Muhammad adalah seorang penyihir. Kalian tahu pekerjaan penyihir? Penyihir memisahkan suami dan istrinya, memisahkan anak dan bapaknya.” Sekali-kali tidak benarlah tuduhan mereka bahwa beliau adalah seorang penyihir. Meskipun benar bahwa gara-gara dakwah Nabi, suami berpisah dari istrinya, yang satunya masuk islam, satunya tidak. Bapak dan anak bertengkar, bapaknya kafir dan anaknya tidak kafir. Karena tidak mungkin digabungkan antara kesyirikan dengan tauhid.

Selain itu mereka juga menuduh Muhammad adalah seorang pendusta, yang berbicara tentang hari kiamat yang mana hal tersebut mereka mendustakan. Para ulama mengatakan bahwa syahwat punya peran dalam menentukan akidah seseorang. Orang-orang kafir Quraisy pada saat itu ingin hidup dalam kepuasan, mereka ingin berzina, mereka ingin meminum khamr. Nabi datang dan mengingatkan akan nyatanya ada hari kiamat. Namun mereka tidak ingin ada hari kiamat. Oleh karena itu, seseorang jika sudah tenggelam ke dalam syahwat, bisa menyebabkan akidahnya menjadi berubah, demi menjaga agar syahwatnya selalu terpuaskan.

Diantara panggilan lain yang disematkan kepada Muhammad adalah mengatakan bahwasnya beliau adalah orang yang terkena sihir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman

يَقُولُ الظَّالِمُونَ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا رَجُلًا مَسْحُورًا

“Dan orang-orang zhalim mengatakan, ‘Sesungguhnya kalian mengikuti seorang yang tersihir’.” (QS Al-Isrā : 47)

Sesungguhnya perkataan mereka saling kontradiktif. Tadinya mereka mengatakan Nabi adalah seorang penyihir, sekarang mereka mengatakan bahwa Nabi adalah orang yang tersihir. Maka sungguh luar biasa pembicaraan mereka ini, mereka sebar luaskan dimana-mana. Nabi Muhammad dikatakan seorang kāhin (dukun), penyihir, disihir, orang gila, dan julukan-julukan lainnya.

Kita -para da’i- tidak pernah dijuluki dengan banyak julukan secara sekaligus seperti itu oleh orang-orang. Kalau dikatakan orang gila mungkin saja itu terjadi, tetapi kalau dikatakan pendusta sekaligus penyihir sekaligus tersihir sekaligus dukun, tidak pernah menimpa kita. Sedangkan pada Rasulullah, seluruh gelaran yang paling buruk ditempelkan kepada beliau, padahal orang-orang musyrikin sebelumnya mengetahui bahwasanya Rasulullah dijuluki sebagai Al-Amiin, yaitu orang yang amanah.

Allah berfirman :

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ (97) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ (98) وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ (99)

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS Al-Hijr : 97-99)

Celaan-celaan yang beliau dapatkan ini adalah perkara yang sangat berat bagi beliau, lebih berat daripada siksaan badan. Demikianlah apabila ejekan itu ditujukan kepada orang yang memiliki nasab tinggi dan kedudukan di masyarakat. Berbeda dengan orang rendahan, tidak ada yang mengenalnya, mereka akan lebih memilih diejek daripada dipukul. Namun berbeda dengan Nabi, Nabi merasa lebih berat diejek daripada dipukul. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits diceritakan bagaimana Nabi merasa lebih berat ketika beliau ditolak dakwahnya di Tha’if daripada ketika beliau terluka sewaktu perang Uhud.

‘Aisyah Radhiyallahu anha bertanya kepada Nabi:

هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ؟

“Wahai, Rasulullah! Pernahkah engkau melewati suatu hari yang lebih berat dari peperangan Uhud?”

Kita tahu bahwasanya peristiwa perang Uhud adalah peristiwa yang sangat berat bagi Nabi. Beliau terluka, wajahnya berlumuran darah, ada besi yang masuk ke dalam pipinya, gigi beliau patah. Kemudian kesedihan beliau bertambah mengetahui 70 sahabatnya meninggal dalam peperangan tersebut, dan bertambah lagi ketika pamannya yang sangat dia cintai Hamzah bin ‘Abdul Muththalib meninggal dalam perang tersebut. Namun ternyata ada yang lebih berat yang pernah dialami oleh Nabi. Beliau berkata :

” لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ، وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ العَقَبَةِ، إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلاَلٍ، فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ، فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي، فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي، فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي، فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ، فَنَادَانِي فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ، وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ، وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ، فَنَادَانِي مَلَكُ الجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ، ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْنِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

Beliau menjawab, “Aku telah mengalami gangguan dari kaum-mu. Peristiwa yang paling berat kulalui adalah pada hari ‘Aqabah. Aku mendatangi Ibnu ‘Abdi Yaalail bin Abdi Kulal (untuk mendakwahinya), namun ia tidak menyambutku kepada apa yang aku kehendaki.

Akupun pergi dalam keadaan sangat sedih yang nampak di wajahku. Aku dalam kondisi tidak sadar hingga aku baru sadar ketika telah sampai di Qarn Ats-Tsa’âlib. Aku mengangkat kepalaku, dan tiba-tiba terlihat awan yang menaungiku. Aku amati, dan muncullah Jibril di awan tersebut, lalu iapun berseru, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan penolakan kaummu kepadamu. Dan sungguh Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung kepadamu untuk siap engkau perintah’ denga apa yang engkau kehendaki berkaitan dengan kaummu”. Malaikat penunggu gunung pun berseru kepadaku dan mengucapkan salam kepadaku, lalu ia berkata, “Wahai, Muhammad!, terserah apa perintahmu kepadaku. Jika engkau mau, maka aku akan benturkan dua gunung ini di atas mereka”.

Maka Nabi berkata, “Bahkan aku berharap agar Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat kesyirikan kepadaNya sama sekali” (HR Muslim no. 4629)

Disebutkan dalam riwayat disebutkan bahwasanya Nabi bertemu dengan tiga orang bersaudara[1] yang merupakan pembesar kota At-Thoif dan Nabi mendakwahi mereka, hanya saja ketiga tersebut mengejek Nabi.

فَقَالَ لَهُ أَحَدُهُمْ هُوَ يَمْرُطُ ثِيَابَ الْكَعْبَةِ إنْ كَانَ اللَّهُ أَرْسَلَكَ، وَقَالَ الْآخَرُ: أَمَا وَجَدَ اللَّهُ أَحَدًا يُرْسِلُهُ غَيْرَكَ! وَقَالَ الثَّالِثُ: وَاَللَّهِ لَا أُكَلِّمُكَ أَبَدًا. لَئِنْ كُنْتَ رَسُولًا مِنْ اللَّهِ كَمَا تَقُولُ، لَأَنْتَ أَعْظَمُ خَطَرًا مِنْ أَنْ أَرُدَّ عَلَيْكَ الْكَلَامَ، وَلَئِنْ كُنْتَ تَكْذِبُ عَلَى اللَّهِ، مَا يَنْبَغِي لِي أَنْ أُكَلِّمَكَ

Salah satu dari mereka berkata : “Aku akan merobek kiswah ka’bah jika Allah telah mengutusmu !”. Yang kedua berkata, “Apakah Allah tidak menemukan orang lain selainmu untuk diutus ?”. Dan yang ketiga berkata, “Demi Allah aku tidak akan berbicara denganmu selamanya. Kalau engkau benar seorang utusan dari Allah -sebagaimana yang kau katakana- maka sungguh sangat berbahaya jika aku membantah perkataanmu. Akan tetapi jika engkau berdusta atas nama Allah maka tidak pantas bagiku untuk berbicara denganmu”[2]

Sungguh perkataan ketiga orang bersaudara tersebut adalah perkataan yang sangat mengejek. Perhatikan perkataan orang yang kedua diantara mereka, ia berkata, “Apakah tidak ada orang lain yang Allah utus? Mengapa kamu yang harus menjadi Rasul?” Sungguh ini adalah ucapan yang sangat menyakitkan. Andaikan ada orang yang berkata kepada kita, “Anda ingin berbuat apa di tempat ini? Hendak berdakwah? Apa tidak ada orang lain selain anda? Masih banyak orang lain, mengapa harus anda yang berdakwah?”. Ini adalah ucapan yang sangat menyakitkan.

Sungguh benarlah perkataan seorang penyair,

وَقَدْ يُرْجَى لِجُرْحِ السَّيْفِ بـُرْءٌ….. وَلاَ بُرْءَ لِمَا جَرَحَ اللِّسَــانُ

جِرَاحَاتُ السِّنَانِ لَهَا الْتِئِامٌ ….. وَلَا يَلْتَامُ مَا جَرَحَ اللِّسَانُ

وجُرْحُ السَّيفِ تَدْمُلُه فَيَبرا … وجُرحُ الدَّهْرِ مَا جَرَح اللِّسانُ

Bisa jadi luka yang disebabkan sayatan pedang masih bisa diharapkan kesembuhannya. Tetapi tidak ada kesembuhan bagi luka yang disebabkan oleh lisan…

Sesungguhnya sayatan-sayatan pedang masih bisa kembali lagi disembuhkan, akan tetapi sayatan-sayatan lisan tidak bisa disatukan lagi…

Sesungguhnya luka yang disebabkan pedang, engkau obati maka sembuh. Adapun luka sepanjang masa adalah luka akibat lisan. [3]

Oleh karena itu, hendaknya kita menjaga lisan kita dan bukan hanya menjaga tangan kita dari memukul orang lain. Karena terkadang kalimat hinaan, ejekan, dan perendahan kita terhadap orang lain bisa lebih menyakitkan dan menyebabkan dia akan mengingatnya secara terus-menerus. Ditambah penyakit hati atau luka yang disebabkan oleh lisan susah disembuhkan. Sehingga mereka berusaha menyakiti hati Nabi dengan berbagai tuduhan-tuduhan.

Diantara ejekan lain yang mereka arahkan kepada Nabi yaitu ejekan yang diucapkan oleh Abu Jahal. Suatu saat dia mendengar tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang buah atau pohon zaqqum, yang merupakan makanan penghuni neraka jahanam. Kemudian dia mengumpulkan orang-orang Quraisy lalu dia mengejek ayat ini dengan mengatakan,

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ هَلْ تَدْرُونَ مَا شَجَرَةُ الزَّقُّومِ الَّتِي يُخَوِّفُكُمْ بِهَا مُحَمَّدٌ؟ قَالُوا: لَا، قَالَ: عَجْوَةُ يَثْرِبَ بِالزُّبْدِ. وَاللَّهِ لَئِنِ اسْتَمْكَنَّا مِنْهَا لَنَزْقُمَنَّهَا تَزَقُّمًا

“Wahai orang-orang Quraisy, kalian tahu apa itu pohon zaqqum? Yang Muhammad menakut-nakuti kalian dengan pohon tersebut?”.

Orang-orang Quraisy menjawab, “Kami tidak tahu pohon apakah itu.”

Kemudian Abu Jahal berkata, “Itu adalah kurma ajwa kota Madinah. Demi Allah seandainya saya bisa mendapatkan pohon zaqqum, niscaya saya akan makan sepuas-puasnya.”

Akhirnya Allah menurunkan ayat yang menjelaskan tentang pohon zaqqum. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ شَجَرَتَ الزَّقُّومِ (43) طَعَامُ الْأَثِيمِ (44) كَالْمُهْلِ يَغْلِي فِي الْبُطُونِ (45) كَغَلْىِ الْحَمِيمِ (46)

“Sesungguhnya pohon Zaqqum adalah makanan bagi orang-orang yang berdosa, sebagaimana minyak yang panas yang mendidih dalam tubuh, sebagaimana mendidihnya air panas.” (QS Ad-Dukhān 43-46) [4]

Kemudian dalam hadist, Rasulullah pernah bersabda,

وَلَوْ أَنَّ قَطْرَةً مِنَ الزَّقُّومِ قُطِرَتْ، لَأَمَرَّتْ عَلَى أَهْلِ الْأَرْضِ عَيْشَهُمْ، فَكَيْفَ مَنْ لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا الزَّقُّومُ

Seandainya ada satu getah dari buah zaqqum yang menetes di atas muka bumi ini, niscaya akan merusak kehidupan seluruh penghuni bumi. Maka bagaimana lagi dengan mereka yang tidak ada makanan bagi mereka kecuali hanya pohon Zaqquum” (HR Ahmad no 2735 dan dinilai shahih oleh para pentahqiq al-Musnad)

Bukan hanya Abu lahab yang mencela Nabi, bahkan istri Abu Lahab juga yaitu Ummu Jamil juga mengejek Nabi.

Jundub bin Sufyaan radhiallahu ‘anhu berkata :

اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقُمْ لَيْلَتَيْنِ – أَوْ ثَلاَثًا -، فَجَاءَتْ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: يَا مُحَمَّدُ، إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ شَيْطَانُكَ قَدْ تَرَكَكَ، لَمْ أَرَهُ قَرِبَكَ مُنْذُ لَيْلَتَيْنِ – أَوْ ثَلاَثَةٍ – فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَالضُّحَى وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى، مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى}

“Rasulullah sakit, sehingga beliau tidak bangun selama dua hari atau tiga hari. Lalu datang seorang wanita dan berkata, “Wahai Muhammad, sungguh aku berharap syaitanmu telah meninggalkanmu, aku tidak melihatnya mendekatimu sejak dua hari atau tiga hari”. Maka Allahpun menurunkan firmanNya :

Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu (QS Ad-Duhaa 1-3). (HR Al-Bukhari no 1120 dan 4950 dan Muslim no 1797)

Dalam riwayat yang lain menjelaskan bahwa wanita yang mengejek tersebut adalah Ummu Jamiil istrinya Abu Lahab. [5]

Perhatikanlah, Nabi dalam kondisi sakit tidak bisa bangun selama berhari-hari, lalu dijenguk oleh istri pamannya (yaitu Abu Lahab). Bukannya memberi hiburan, akan tetapi ternyata untuk menyakiti hati Nabi. Oleh karena itu, yang mengejek Nabi bukan hanya dari kalangan laki-laki, sampai-sampai perempuan ikut mengejek beliau dengan mendatanginya ke rumahnya kemudian berkata, “Hai Muhammad dimana setanmu?.” Sungguh luar biasa perkataan ini, Malaikat Jibril dibilang setan.

Demikian pula tatakala turun firman Allah dalam surat al-Masad yang diantara isinya adalah

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

“Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.” (QS Al-Lahab : 4)

Maka Ummu Jamiil Istri Abu Lahab pun datang sambil bersenandung :

مُذَمَّمٌ أَبَيْنَا، وَدِيْنُهُ قَلَيْنَا، وَأَمْرُهُ عَصَيْنَا

“Mudzammam (yang tercela) [6] orang yang kami enggan kepadanya, agamanya kami tinggalkan, dan perintahnya kami bangkangi” [7]

Nabi mengomentari ejekan tersebut dengan berkata :

أَلاَ تَعْجَبُونَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللَّهُ عَنِّي شَتْمَ قُرَيْشٍ وَلَعْنَهُمْ، يَشْتِمُونَ مُذَمَّمًا، وَيَلْعَنُونَ مُذَمَّمًا وَأَنَا مُحَمَّدٌ

“Tidakah kalian ta’jub, bagaimana Allah memalingkan dari cercaan kaum Quraisy dan laknatan mereka. Mereka mencera mudzammam dan mereka melaknat mudzammam, sementara aku adalah Muhammad”(HR Al-Bukhari no 3533)

Demikian juga ‘Utbah bin Abī Lahab sangat keras dalam mengganggu/menyakiti Nabi. Maka suatu hari tatkala Utbah dan ayahnya Abu Lahab hendak pergi ke Syam, maka ‘Utbah menyempatkan diri untuk menghampiri Nabi dalam rangka mencaci Nabi sebelum ia pergi ke Syaam. Maka Nabi berdo’a agar dia dibunuh oleh singa. Nabi berkata :

اللهُمَّ سَلِّطْ عَلَيْهِ كَلْبًا مِنْ كِلَابِكَ

Ya Allah jadikanlah ia dikuasai oleh seekor anjing dari anjing-anjingMu”

Akhirnya di perjalanan ‘Utbahpun didatangi oleh Singa dan akhirnya menerkamnya dan membunuhnya. (HR Al-Haakim dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 4/39)

Abu Jahal pernah sesumbar sambil menantang, ia berkata, “Wahai Muhammad, kalau agama ini benar dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, turunkanlah hujan batu.” Perkataan ini Allah abadikan di dalam Al-Qur’an,

وَإِذْ قَالُوا اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هَذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِمْ ۚ

“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, ‘Ya Allah, jika (Al-Quran) ini benar dari Engkau, maka turunkanlah hujan batu atau turunkanlah adzab yang pedih.’ Tetapi Allah tidak akan mengadzab mereka,sementara engkau di tengah-tengah mereka.” (QS Al-Anfāl : 32) (HR Al-Bukhari no 4648 dan Muslim no 2796)

Inilah diantara metode yang digunakan untuk menjatuhkan mental Rasūlullāh, yaitu metode mengejek.

Kemudian diantara metode untuk menjatuhkan Nabi dan para shahābatnya yaitu dengan menekan mental mereka.

Pada saat itu kebanyakan yang masuk Islam adalah anak-anak muda, rata-rata umur mereka di bawah umur Nabi, ada orangtua namun sedikit. Maka orang-orang kafir Quraisy memanfaatkan hal ini, mereka mengadakan pengumuman, dipanggillah orang-orang tua dan kepala-kepala suku kemudian dikatakan kepada mereka, “Urus anak buah kalian, jangan sampai ikut agama Muhammad. Beri tekanan kepada mereka agar meninggalkan agama Muhammad.” Salah seorang shahabat yaitu Sa’ad bin Abī Waqqāsh radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu yang pada saat itu umurnya baru 20 tahun, ibunya terkana hasutan ini. Ibunya memerintahkan Sa’ad bin Abī Waqqāsh, tetapi dia tidak mau, dipaksa dan dirayu pun tetap tidak mau. Kemudian ibunya memiliki ide yaitu mogok dari makan dan minum. Akhirnya ibunya tidak mau makan dan minum selama berhari-hari sehingga tubuhnya lemas dan hampir meninggal dunia.

Sa’ad bin Abi Waqqoosh berkata :

نَزَلَتْ فِيَّ أَرْبَعُ آيَاتٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، كَانَتْ أُمِّي حَلَفَتْ أَنْ لَا تَأْكُلَ وَلَا تَشْرَبَ حَتَّى أُفَارِقَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: (وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً)

“Telah turun 4 ayat dari al-Qur’an berkaitan dengan diriku. (Yang pertama), ibuku bersumpah untuk tidak makan dan tidak minum hingga aku meninggalkan Muhammad. Maka Allahpun menurunkan firmanNya : “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS Luqman : 15) (HR Al-Bukhari di al-Adab al-Mufrod no 24 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Dalam riwayat yang lain Sa’ad berkata :

كُنْتُ رَجُلًا بَرًّا بِأُمِّي، فَلَمَّا أَسْلَمْتُ قَالَتْ: يَا سَعْدُ، مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكَ قَدْ أَحْدَثْتَ؟ لَتَدَعَنّ دِينَكَ هَذَا أَوْ لَا آكُلُ وَلَا أَشْرَبُ حَتَّى أَمُوتَ، فَتُعَيَّر بِي، فَيُقَالُ: “يَا قَاتِلَ أُمِّهِ”. فَقُلْتُ: لَا تَفْعَلِي يَا أمَه، فَإِنِّي لَا أَدْعُ دِينِي هَذَا لِشَيْءٍ. فمكثتْ يَوْمًا وَلَيْلَةً لَمْ تَأْكُلْ فَأَصْبَحَتْ قَدْ جَهِدَتْ، فمكثتْ يَوْمًا [آخَرَ] وَلَيْلَةً أُخْرَى لَا تَأْكُلْ، فأصبحتْ قَدِ اشْتَدَّ جُهْدُهَا، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُلْتُ: يَا أُمَّهْ، تَعْلَمِينَ وَاللَّهِ لَوْ كَانَتْ لكِ مِائَةُ نَفْسٍ فخَرجت نَفْسا نَفْسًا، مَا تَرَكْتُ دِينِي هَذَا لِشَيْءٍ، فَإِنْ شِئْتِ فَكُلِي، وإن شئت لا تأكلي. فأكلتْ

“Aku dahulu (sebelum masuk Islam) adalah seorang yang berbakti kepada ibuku. Tatkala aku masuk Islam maka ibuku berkata, “Wahai Sa’ad, ajaran apa ini yang aku lihat engkau buat-buat?, sungguh hendaknya engkau meninggalkan agamamu tersebut atau aku tidak akan makan dan tidak akan minum hingga aku mati, lalu engkaupun dicela karena aku, maka engkau dijuluki “Wahai pembunuh ibunya”.

Aku berkata, “Wahai ibunda janganlah engkau melakukan demikian, karena aku tidak akan meninggalkan agamaku ini karena apapun”. Maka ibuku pun sehari dan semalam diam tidak makan, sehingga tatkala keesokan paginya ia dalam kondisi sangat payah. Lalu ia tetap bertahan hingga hari berikutnya tidak makan. Maka pada pagi harinya kondisinya semakin sangat parah. Tatkala aku melihat kondisi tersebut maka aku berkata, “Wahai ibunda, ketahuilah, demi Allah, seandainya engkau memiliki 100 nyawa lalu nyawa tersebut keluar satu demi satu maka aku tidak akan meninggalkankan agamaku karena sebab apapun, jika kau mau maka makanlah !, dan jika kau mau maka tidak usah makan !”. Maka ibukupun makan” (HR At-Thobroni dalam kitab ai-‘Isyroh sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 6/337)

Ini adalah perang mental, bagaimana Ibunya Sa’ad bin Abī Waqqāsh memaksanya. Namun dia bertekad untuk tetap berada di atas agama Muhammad, karena dia masuk Islam bukan hanya ikut-ikutan melainkan di atas ilmu dan sangat mengerti tentang bersihnya tauhid dan kotornya syirik.

Perlakuan Kaum Musyrikin juga dialami oleh Mush’ab bin ‘Umair radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, disebutkan dalam siroh beliau bahwa beliau adalah anak muda penduduk Mekkah yang paling nikmat hidupnya. Ibunya seorang yang kaya raya, dia menyediakan seluruh keperluan anaknya tersebut.

Al-Waqidi berkata :

كَانَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ فَتَى مَكّةَ شَبَابًا وَجَمَالًا وَسِنّا وَكَانَ أَبَوَاهُ يُحِبّانِهِ وَكَانَتْ أُمّهُ تَكْسُوهُ أَحْسَنَ مَا يَكُونُ مِنْ الثّيَابِ وَكَانَ أَعْطَرَ أَهْلِ مَكّةَ يَلْبَسُ الْحَضْرَمِيّ مِنْ النّعَالِ

“Mush’ab bin ‘Umair adalah seorang pemuda kota Mekah yang tampan dan dicintai oleh kedua orang tuanya. Ibunya memberikan kepadanya pakaian yang terindah. Bahkan beliau adalah orang yang terharum di Mekah. Ia memakai sendal yang terbuat di Hadromaut (yaman)” (Ar-Roudh al-Unuf 4/53)

Jika ia berjalan maka parfumnya akan tercium dari jarak sekian. Namun akhirnya Mush’ab bin ‘Umair masuk Islam. Ibunya pun terkena hasutan sehingga melarang anaknya untuk masuk Islam dan menyuruh anaknya murtad. Tetapi Mush’ab tidak mau. Akhirnya diberhentikan lah segala bantuan dan diusir dari rumahnya. Keadaan ini tidak mudah bagi Mush’ab bin ‘Umair, dia masih muda, dia biasa hidup enak namun tiba-tiba diusir. Sehingga mulailah Mush’ab bin ‘Umair hidup dalam kondisi yang sulit, kulitnya mulai kasar sampai-sampai disebutkan bahwa kulitnya lepas seperti sisik ular, biasanya halus karena terawat.

Dalam sebuah riwayat Nabi menangis melihat kondisi Mush’ab. Ali bin Abi Tholib berkata :

إِنَّا لَجُلُوسٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَسْجِدِ إِذْ طَلَعَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ مَا عَلَيْهِ إِلَّا بُرْدَةٌ لَهُ مَرْقُوعَةٌ بِفَرْوٍ فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَكَى لِلَّذِي كَانَ فِيهِ مِنَ النِّعْمَةِ وَالَّذِي هُوَ اليَوْمَ فِيهِ

“Kami sedang duduk bersama Rasulullah di masjid, tiba-tiba mucul Mush’ab bin ‘Umair. Ia tidak memakai kecuali sepotong kain burdah (yang warnanya bercampur antara putih dan hitam-pen) miliknya yang ditambal-tambal dengan kulit. Tatkalan Rasulullah melihatnya maka Nabipun menangis karena mengingat bagaimana kondisi Mush’ab yang penuh dengan kenikmatan dibandingkan dengan kondisinya yang sekarang” (HR At-Tirmidzi no 2476 dan At-Tirmidzi berkata: Hadits Hasan Ghorib, dan hadits ini dinilai dho’if (lemah) oleh Al-Albani)

Sebagaimana yang telah dialami oleh Sa’ad bin Abī Waqqāsh dan Mush’ab bin ‘Umair, maka kaum musyrikin juga ingin menjatuhkan mental Rasūlullāh. Diantaranya, mereka mendatangi pamannya Abū Thālib dan menyuruh Abū Thālib agar meninggalkan keponakannya tersebut. Namun Abū Thālib cinta kepada Rasūlullāh, cinta thabi’i (secara tabiat) sebagai keponakannya sehingga dia membela Nabi habis-habisan. Ibnu Katsīr menyebutkan bahwasanya inilah diantara hikmah Allāh mengapa Abū Thālib tetap kafir dan meninggal dalam keadaan kafir. Seandainya dia masuk Islam bersama Nabi maka dia tidak akan dihormati lagi dan orang akan berani mengganggu Nabi. Karena Abū Thālib masih kafir, menyebabkan dia masih dihormati oleh orang-orang musyrik Arab. Sehingga apabila dia membela keponakannya maka mereka tidak akan berani mengganggu Nabi. Mereka menunggu sampai Abū Thālib meninggal dunia kemudia berani mengganggu Nabi dengan sepuasnya.

Diantara yang mereka lakukan adalah menyibukkan Nabi Muhammad dengan keluarganya. Rasūlullāh memiliki 4 anak wanita, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fāthimah, serta 2 anak laki-laki, ‘Abdullah dan Qasim yang meninggal sebelum Muhammad diangkat menjadi Nabi. Zainab menikah dengan Abul ‘Ash (sepupunya Zainab) atas rekomendasi dari Khadījah. Telah kita sebutkan saat malam pertama bertemu Abul ‘Ash, Zainab diberikan kalung oleh ibunya Khadījah untuk berhias di hadapan suaminya. Adapun Ruqayyah dan Ummu Kultsum juga menikah dengan sepupu mereka, yaitu Utbah dan Uthaibah ibni Abi Lahab, keduanya adalah putra Abū Lahab. Karena jengkel dengan Muhammad, maka Abū Lahab berkata kepada anaknya, “Ceraikan istri-istri kalian.” Ini dilakukan untuk membuat sedih Rasūlullāh sehingga tidak sibuk berdakwah. “Silakan kalian pilih perempuan siapa saja untuk kami nikahkan dengan kalian.” Akan tetapi Abul ‘Ash tidak mau, padahal dia masih dalam keadaan musyrik, dan dia masuk Islam belakangan. Kemudian mereka mendatangi Uthbah dan Uthaibah, akhirnya mereka berdua setuju. Ini adalah gangguan mental untuk Nabi. Bagaimana tidak sedih apabila seorang ayah melihat putrinya diceraikan. Namun bersamaan dengan itu, Nabi tak menyurutkan semangatnya agar tetap berdakwah.

Diantara cara mereka untuk menolak dakwah Nabi adalah mereka meminta agar Nabi Muhammad menurunkan mu’jizat baru, agar mereka mau beriman.

وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الأرْضِ يَنْبُوعًا (90) أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الأنْهَارَ خِلالَهَا تَفْجِيرًا (91) أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ قَبِيلا(92) أَوْ يَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَلَنْ نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنزلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلا بَشَرًا رَسُولا(93)

Dan mereka berkata, “Kami tidak akan percaya kepadamu (Muhammad) hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun itu yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami, atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca.” Katakanlah, “Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul?” (QS Al-Isrā : 90-93)

Apa yang mereka katakan serupa dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang musyrikin zaman dahulu sejak zaman Nabi Shālih, mereka mengatakan, “Wahai Shālih, kalau kau memang seorang Rasul keluarkan dari batu tersebut seorang unta.” Namun setelah keluar unta maka mereka tidak beriman juga. Seandainya Allāh menjadikan Rasūlullāh bisa melakukan demikian maka mudah saja tetapi mereka tetap tidak akan beriman.

وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ (14) لَقَالُوا إِنَّمَا سُكِّرَتْ أَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَسْحُورُونَ(15)

Dan kalau Kami bukakan kepada mereka salah satu pintu langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya. Tentulah mereka berkata, “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan Kami adalah orang yang terkena sihir.” (QS Al-Hijr : 14-15)

Lihat pula Nabi Mūsā ‘alayhissalām ketika mendatangkan mu’jizat di hadapan Fir’aun, Fir’aun mengatakan, إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ عَلِيمٌ “Ini adalah penyihir yang pandai” (QS Al-A’roof : 109 dan Asy-Syu’aroo’ : 34)

Padahal diantara mu’jizat Nabi adalah Al-Qurān, dan ini adalah mu’jizat yang paling mengena pada mereka. Dan Allāh telah menantang mereka untuk mendatangkan yang semisal dengan Al-Qurān jika mereka mampu. Mereka telah sadar bahwa mereka tidak mampu, dan mereka telah sadar bahwa al-Qur’an adalah mukjizat, akan tetapi mereka tetap saja bersikeras untuk menolak Nabi dan tetap mengejek Nabi. Inilah diantara metode-metode yang dilakukan oleh kaum musyrikin untuk menghalangi dakwah Nabi.

(2) Gangguan Secara Fisik

Dalam rangka melawan dakwah Nabi, mereka juga mengganggu Nabi secara fisik. Diantaranya, beberapa orang yang langsung mengganggu Nabi di rumahnya, Ibnu Ishāq rahimahullah beliau berkata,

وَكَانَ النَّفَرُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ: أَبَا لَهَبٍ، وَالْحَكَمَ بْنَ الْعَاصِ بْنِ أُمَيَّةَ، وَعُقْبَةَ بْنَ أَبِي مُعَيْطٍ، وَعَدِيَّ بْنَ حَمْرَاءَ الثَّقَفِيَّ، وَابْنَ الْأَصْدَاءِ الْهُذَلِيَّ، وَكَانُوا جِيرَانَهُ لَمْ يُسْلِمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ إلَّا الْحَكَمُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ، فَكَانَ أَحَدُهُمْ- فِيمَا ذُكِرَ لِي- يَطْرَحُ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِمَ الشَّاةِ وَهُوَ يُصَلِّي، وَكَانَ أَحَدُهُمْ يَطْرَحُهَا فِي بُرْمَتِهِ إذَا نُصِبَتْ لَهُ، حَتَّى اتَّخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِجْرًا يَسْتَتِرُ بِهِ مِنْهُمْ إذَا صَلَّى، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا طَرَحُوا عَلَيْهِ ذَلِكَ الْأَذَى، كَمَا حَدَّثَنِي عُمَرُ ابْن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، يَخْرُجُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْعُودِ، فَيَقِفُ بِهِ عَلَى بَابِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، أَيُّ جِوَارٍ هَذَا! ثُمَّ يُلْقِيهِ فِي الطَّرِيقِ.

“Dan beberapa orang yang mengganggu Rasulullah di rumahnya adalah Abu Lahab, Al-Hakam bin Abil ‘Aaash bin Umayyah, ‘Uqbah bin Abi Mu’aith, ‘Adiy bin Hamroo’ Ats-Tsaqofi, dan Ibnu al-Ashdaa’ al-Hudzali. Dan mereka semua ini adalah tetangga Nabi. Dan tidak seorangpun yang beriman dari mereka kecuali Al-Hakam bin Abil ‘Aash. Maka salah seorang dari mereka -sebagaimana yang disebutkan kepadaku- melemparkan rahim (isi perut) kambing kepada Nabi tatkala Nabi sedang sholat. Dan ada juga yang meletakan rahim kambing tersebut di panci Nabi jika pancinya sedang digunakan untuk masak. Hingga Nabi membuat penghalang agar tertutup dari mereka jika beliau sedang sholat.

Dan Rasulullah jika mereka meletakan kotoran tersebut kepada beliau -sebagaimana Umar bin Abdillah bin ‘Urwah bin Az-Zubair telah menyampaikan kepadaku dari ‘Urwah bin Az-Zubair – maka beliaupun ke luar ke depan pintu lalu beliau berkata, “Wahai Bani ‘Abdi Manaaf, cara bertentangga seperti apa ini?”. Lalu beliau membuang kotoran tersebut ke jalan” (Siroh Ibnu Hisyaam 1/415-416)

Diantara gangguan fisik kepada Nabi adalah sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Mas’uud radhiallahu ‘anhu.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي عِنْدَ البَيْتِ، وَأَبُو جَهْلٍ وَأَصْحَابٌ لَهُ جُلُوسٌ، إِذْ قَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: أَيُّكُمْ يَجِيءُ بِسَلَى جَزُورِ بَنِي فُلاَنٍ، فَيَضَعُهُ عَلَى ظَهْرِ مُحَمَّدٍ إِذَا سَجَدَ؟ فَانْبَعَثَ أَشْقَى القَوْمِ فَجَاءَ بِهِ، فَنَظَرَ حَتَّى سَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَضَعَهُ عَلَى ظَهْرِهِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ، وَأَنَا أَنْظُرُ لاَ أُغْنِي شَيْئًا، لَوْ كَانَ لِي مَنَعَةٌ، قَالَ: فَجَعَلُوا يَضْحَكُونَ وَيُحِيلُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاجِدٌ لاَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، حَتَّى جَاءَتْهُ فَاطِمَةُ، فَطَرَحَتْ عَنْ ظَهْرِهِ، (وفي رواية : حَتَّى انْطَلَقَ إِنْسَانٌ فَأَخْبَرَ فَاطِمَةَ، فَجَاءَتْ وَهِيَ جُوَيْرِيَةٌ، فَطَرَحَتْهُ عَنْهُ، ثُمَّ أَقْبَلَتْ عَلَيْهِمْ تَشْتِمُهُمْ) فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْسَهُ ثُمَّ قَالَ: «اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، فَشَقَّ عَلَيْهِمْ إِذْ دَعَا عَلَيْهِمْ، قَالَ: وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّ الدَّعْوَةَ فِي ذَلِكَ البَلَدِ مُسْتَجَابَةٌ، ثُمَّ سَمَّى: «اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ، وَعَلَيْكَ بِعُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ، وَشَيْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ، وَالوَلِيدِ بْنِ عُتْبَةَ، وَأُمَيَّةَ بْنِ خَلَفٍ، وَعُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ» – وَعَدَّ السَّابِعَ فَلَمْ يَحْفَظْ -، قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ رَأَيْتُ الَّذِينَ عَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَرْعَى، فِي القَلِيبِ قَلِيبِ بَدْرٍ

Bahwasanya Rasulullah sedang shalat di sisi Ka’bah. Abu Jahal dan teman-temannya sedang duduk-duduk di dekat Ka’bah, lalu salah seorang dari mereka berkata, “Siapa diantara kalian yang ingin mengambil kotoran isi perut unta dari Bani Fulan lalu ketika Muhammad sedang sujud menaruh di atas pundaknya?” Maka berdirilah orang yang paling celaka di antara mereka (dia adalah ‘Uqbah bin Abi Mu’aith-pen). Dia pergi ke rumah orang tersebut lalu diambilnya kotoran unta dan menunggu saat dimana Nabi sujud, (karena mereka tahu kalau Nabi sujudnya lama -pen). ‘Uqbah pun menunggu. Lalu saat Nabi sujud, ‘Uqbah datang dengan kotoran tersebut lalu ditumpahkan di atas pundak Nabi, saya (Ibnu Mas’uud) melihat hal tersebut tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Seandainya saya punya kekuatan (atau kabilah yang mendukungku, tentu aku aku akan menghilangkan kotoran tersebut dari Nabi -pen). Maka mereka pun tertawa, sambal menunjuk satu kepada yang lainnya bahwa ialah yang melakukannya. (dalam riwayat yang lain : وَجَعَلَ بَعْضُهُمْ يَمِيلُ عَلَى بَعْضٍ hingga sebagian yang lain miring kepada yang lain -yaitu karena begitu parahnya ketawaan mereka -pen). Sementara Rasulullah tetap tegar sujud tidak mengangkat kepalanya. Sampai dikabarkan kepada Fāthimah bahwa ayahnya sedang diganggu. Lalu datanglah Fāthimah kemudian membersihkan kotoran tersebut dari pundak Nabi. (dalam riwayat yang lain : Maka pergeliah seseorang dan mengabarkan kepada Fathimah apa yang sedang terjadi lalu Fathimah pun datang dan tatkala itu adalah seorang gadis kecil, lalu iapun membersihkan kotoran tersebut dari pundak Nabi, lalu iapun menghadap kaum Quraisy dan mencaci mereka). Setelah itu Nabi bangun dari sujudnya dan berdo’a (dihadapan mereka -pen). “Ya Allāh hancurkanlah orang-orang Quraisy”, dan beliau berdo’a sampai 3 kali. Saat mendengar do’a Nabi mereka pun merasa berat. Mereka mengetahui bahwa do’anya seseorang di kota Mekah dikabulkan. Setelah itu Nabi menyebut nama mereka (satu persatu dalam doanya -pen), “Ya Allāh, hancurkanlah Abū Jahal, hancurkanlah ‘Utbah bin Rabī’ah, Syaibah bin Rabī’ah, al-Walid bin ‘Utbah, Umayyah bin Khalaf dan ‘Uqbah bin Abi Mu’aith”. Rasūlullāh menyebutkan nama orang yang ketujuh (akan tetapi sang perawi (yang meriwayatkan dari Ibnu Mas’ūd) terlupa. Sungguh demi jiwaku yang ada ditanganNya, saya melihat nama-nama yang disebutkan oleh Nabi semuanya tewas dan dimasukkan ke dalam sumur yaitu Sumur di Badr. (HR Al-Bukhari no 240 dan Muslim no 1794)

Lihatlah ini gangguan fisik yang tentu sangat menyakitkan, apalagi dilihat oleh sang putri yang masih kecil Fathimah. Bagaimana perasaan seorang ayah tatkala sang ayah sedang dihina dihadapan putrinya??.

Imam Muslim dalam Shahihnya juga menyebutkan suatu kisah ketika Abu Jahl ingin mengganggu Nabi. Abu Huroiroh berkata :

قَالَ أَبُو جَهْلٍ: هَلْ يُعَفِّرُ مُحَمَّدٌ وَجْهَهُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟ قَالَ فَقِيلَ: نَعَمْ، فَقَالَ: وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى لَئِنْ رَأَيْتُهُ يَفْعَلُ ذَلِكَ لَأَطَأَنَّ عَلَى رَقَبَتِهِ، أَوْ لَأُعَفِّرَنَّ وَجْهَهُ فِي التُّرَابِ، قَالَ: فَأَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي، زَعَمَ لِيَطَأَ عَلَى رَقَبَتِهِ، قَالَ: فَمَا فَجِئَهُمْ مِنْهُ إِلَّا وَهُوَ يَنْكُصُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَيَتَّقِي بِيَدَيْهِ، قَالَ: فَقِيلَ لَهُ: مَا لَكَ؟ فَقَالَ: إِنَّ بَيْنِي وَبَيْنَهُ لَخَنْدَقًا مِنْ نَارٍ وَهَوْلًا وَأَجْنِحَةً، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْ دَنَا مِنِّي لَاخْتَطَفَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عُضْوًا عُضْوًا» قَالَ: فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : {كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى، أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى، أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى، عَبْدًا إِذَا صَلَّى، أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى، أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى، أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى} يَعْنِي أَبَا جَهْلٍ {أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى، كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ، نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ، فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ، كَلَّا لَا تُطِعْهُ}

Abu Jahl berkata, “Apakah kalian melihat Muhammad menggosokkan kepalanya ditanah?” “Ya.” Abū Jahl berkata, “Demi Latta dan Uzza, andai saya lihat Muhammad sujud, sungguh-sungguh saya akan menginjak lehernya atau sunnguh-sungguh akan kugosokkan wajahnya di tanah.” Kemudian dia mendatangi Rasūlullāh yang sedang shalat dan dia menyangka akan menginjak leher Beliau. Tiba-tiba Abū Jahl mundur berjalan ke belakang, dan menghalang-halangi dengan kedua tangannya.

Maka ditanyakan kepadanya, “Ada apa dengan engkau?”. Abu Jahal berkata, “Sungguh saya melihat antara saya dengan dia ada nyala api, sesuatu yang menakutkan, ada sayap-sayap malaikat.”.

Maka Rasulullah berkata, “Seandainya dia berani terus mendekati aku, sungguh malaikat akan mencincang tubuhnya satu persatu.”

Maka Allahpun menurunkan firmanNya :

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu). Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika mengerjakan shalat?. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? (Yaitu Abu Jahal).

Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?. Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya). Kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya” (QS Al-‘Alaq : 6-18) (HR Muslim no 2797)

Demikian juga Imam Bukhāri meriwayatkan dari ‘Urwah bin Az-Zubair. Ia berkata :

سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو، عَنْ أَشَدِّ مَا صَنَعَ المُشْرِكُونَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: رَأَيْتُ عُقْبَةَ بْنَ أَبِي مُعَيْطٍ، جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي، ” فَوَضَعَ رِدَاءَهُ فِي عُنُقِهِ فَخَنَقَهُ بِهِ خَنْقًا شَدِيدًا، فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى دَفَعَهُ عَنْهُ، فَقَالَ: {أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ، وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ}

“Aku bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Amr, “Perkara apa yang paling berat/parah yang pernah dilakukan kaum musyrikin kepada Rasūlullāh?” Dia berkata, “Saya pernah melihat ‘Uqbah bin Abī Mu’aith mendatangi Nabi dalam keadaan shalat. Kemudian dia mengambil selendangnya lalu melilitkan selendang tersebut ke leher Nabi kemudian dia tarik/cekik Nabi dengan sekuat-kuatnya. Abū Bakr pun datang dan mendorong ‘Uqbah bin Abī Mu’aith hingga terjauhkan dari Nabi. Abu Bakar berkata, “Apa kalian ingin membunuh seseorang yang berkata Rabbku adalah Allāh dan telah datang kepada kalian dengan dalil-dalil dan hujjah-hujjah dari Rabb kalian.” (QS Ghoofir : 28) (HR Al-Bukhari no 3678)

Gangguan yang dialami oleh Nabi tidak terlalu parah. Berbeda dengan intimidasi yang dilakukan terhadap para sahabat, terutama para sahabat yang tidak berasal dari kabilah yang kuat -seperti Ibnu Mas’uud- atau para sahabat yang merupakan budak -seperti Bilal-.

Saat dia membaca Al-Qurān, dia dipukul sampai membekas di wajahnya. Besoknya dia kembali membaca Al-Qurān lalu dipukul lagi. Dia tahu bahwasanya dia akan dipukul apabila membaca Al-Qurān, akan tetapi dia tetap membacanya.

Ibnu Ishaaq berkata : Telah menyampaikan kepadaku Yahya bin Urwah bin Az-Zubair, dari ayahnya berkata :

كَانَ أَوَّلُ مَنْ جَهَرَ بِالْقُرْآنِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: اجْتَمَعَ يَوْمًا أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: وَاَللَّهِ مَا سَمِعَتْ قُرَيْشٌ هَذَا الْقُرْآنَ يُجْهَرُ لَهَا بِهِ قَطُّ، فَمَنْ رَجُلٌ يُسْمِعُهُمُوهُ؟

فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ : أَنَا، قَالُوا: إنَّا نَخْشَاهُمْ عَلَيْكَ، إنَّمَا نُرِيدُ رَجُلًا لَهُ عَشِيرَةٌ يَمْنَعُونَهُ مِنْ الْقَوْمِ إنْ أَرَادُوهُ، قَالَ: دَعُونِي فَإِنَّ اللَّهَ سَيَمْنَعُنِي. قَالَ: فَغَدَا ابْنُ مَسْعُودٍ حَتَّى أَتَى الْمَقَامَ فِي الضُّحَى، وَقُرَيْشٌ فِي أَنْدِيَتِهَا، حَتَّى قَامَ عِنْدَ الْمَقَامِ ثُمَّ قَرَأَ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ -رَافِعًا بِهَا صَوْتَهُ- الرَّحْمنُ عَلَّمَ الْقُرْآنَ قَالَ: ثُمَّ اسْتَقْبَلَهَا يَقْرَؤُهَا. قَالَ: فَتَأَمَّلُوهُ فَجَعَلُوا يَقُولُونَ: مَاذَا قَالَ ابْنُ أُمِّ عبْدٍ؟ قَالَ: ثُمَّ قَالُوا: إنَّهُ لَيَتْلُو بَعْضَ مَا جَاءَ بِهِ مُحَمَّدٌ، فَقَامُوا إلَيْهِ، فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ فِي وَجْهِهِ، وَجَعَلَ يَقْرَأُ حَتَّى بَلَغَ مِنْهَا مَا شَاءَ اللَّهُ أَنَّ يَبْلُغَ. ثُمَّ انْصَرَفَ إلَى أَصْحَابِهِ وَقَدْ أَثَّرُوا فِي وَجْهِهِ ، فَقَالُوا لَهُ: هَذَا الَّذِي خَشِينَا عَلَيْكَ، فَقَالَ: مَا كَانَ أَعْدَاءُ اللَّهِ أَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْهُمْ الْآنَ، وَلَئِنْ شِئْتُمْ لَأُغَادِيَنَّهُمْ بِمِثْلِهَا غَدًا، قَالُوا: لَا، حَسْبُكَ، قَدْ أَسْمَعْتَهُمْ مَا يَكْرَهُونَ.

“Yang pertama kali terang-terangan baca al-Qur’an -setelah Rasulullah– di Mekah adalah Abdullah bin Mas’uud. Pada suatu hari para sahabat Rasulullah sedang berkumpul, lalu mereka berkata, “Demi Allah, kaum Quraisy sama sekali belum pernah mendengar al-Qur’an dibacakan terang-terangan, maka siapakah yang bisa membuat mereka mendengarnya?”

Maka Abdullah bin Mas’uud berkata, “Saya”. Mereka berkata, “Kami mengkhawatirkan mereka memberi kemudorotan kepadamu, maksud kami adalah seorang yang memeliki kabilah yang kuat sehingga bisa menghalangi keburukan kaum Quraisy jika mereka hendak berbuat keburukan”. Ibnu Mas’ud berkata, “Biarkanlah aku, sesungguhnya Allah akan melindungiku”. Maka Ibnu Mas’uud pun pergi hingga tiba di Maqoom Ibrahim di waktu duha, sementara kaum Quraisy sedang di tempat perkumpulan mereka, lalu Ibnu Mas’uud pun berdiri di sisi Maqom Ibrahmi lalu membaca firman Allah -sambil mengeraskan suaranya- : “Bismillahirrahmaanirrahiim, Arraohmaan, ‘Allamal Qur’aan…”. Lalu Ibnu Mas’uud menghadap lokasi tempat mereka berkumpul dan membaca ayat-ayat tersebut. Maka merekapun memperhatikan Ibnu Mas’ud, lalu mereka berkata, “Apa yang sedang diucapkan oleh Ibnu Ummi ‘Abd (yaitu Ibnu Mas’uud)?”. Lalu mereka berkata, “Sesungguhnya dia sedang membaca sebagian yang dibawa oleh Muhammad”. Maka merekapun berdiri dan menuju kepada beliau lalu mereka memukuli wajahnya, namun Ibnu Mas’uud tetap membaca hingga sampai yang ia baca. Lalu beliaupun kembali kepada para sahabat, sementara nampak bekas pukulan di wajah beliau. Maka para shabat berkata kepada beliau, “Inilah yang kami kawatirkan menimpamu”. Beliau berkata, “Tidaklah musuh-musuh Allah menjadi lebih ringan dari pada mereka sekarang, jika kalian mau besok aku akan melakukan hal yang sama di hadapan mereka”. Para sahabat berkata, “Sudah cukup, engkau telah memperdengarkan kepada mereka apa yang mereka benci” (Siroh Ibnu Hisyaam 1/315 dengan sanad yang mursal, karena ‘Urwah bin Az-Zubair bin al-‘Awwaam adalah tabi’i)

Adapun zaman sekarang, orang-orang bermaksiat dengan tidak malu-malu, membuka auratnya, bernyanyi, bermaksiat, bermain musik, meminum khamr. Lantas apa yang membuat kita malu apabila kita membaca Al-Qurān? Dahulu Ibnu Mas’ūd membaca Al-Qurān dipukul wajah beliau rame-rame oleh kaum Quraisy, sementara sekarang jika kita membaca Al-Qur’an maka dengan bebasnya tidak seorangpun yang akan memukuli kita. Namun kenapa kita malu untuk membaca Al-Qur’an?. Jika membaca Al-Qurān saja kita malu lalu kapan kita akan beramar ma’ruf nahi munkar? Kapan kita akan mengajak orang untuk shalat? Membaca Al-Qurān saja malu. Oleh karena itu, diantara kenikmatan yang Allāh berikan kepada penduduk Saudi secara umum, terutama di Madinah adalah kita biasa di jalan berdzikir dan tidak malu. Mereka berdzikir dengan suara yang di dengar, itu adalah suatu hal yang biasa. Di indonesia hampir tidak pernah kita melihat seperti apa yang terjadi di Saudi. Hendaknya kita menghidupkan kebiasaan seperti ini. Ingatlah bagaimana para shahābat dahulu, mereka beribadah dengan taruhan nyawa, namun mereka tetap berani beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Adapun sekarang kita mudah untuk beribadah, namun kita saksikan pelaku maksiat begitu bebas bermaksiat. Lantas kenapa kita mesti malu?

Adapun Bilāl Bin Rabah, dia disiksa oleh tuannya yaitu ‘Umayyah bin Khalaf, dia adalah orang yang sangat benci kepada Bilāl karena Bilāl masuk Islam. Karena Bilāl adalah budaknya maka dia menyiksa Bilāl dengan berbagai macam cara. Diantaranya tatkala matahari sangat terik, Bilāl ditidurkan di atas tanah yang sangat panas lalu diletakkan batu panas di atas dadanya, tentu ini akan membakar kulitnya. Tetapi Bilāl justru mengatakan, “Ahad, ahad (Yang Maha Esa).”

Ibnu Mas’uud berkata :

أَوَّلُ مَنْ أَظْهَرَ إِسْلَامَهُ سَبْعَةٌ: رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ، وَعَمَّارٌ، وَأُمُّهُ سُمَيَّةُ، وَصُهَيْبٌ، وَبِلَالٌ، وَالْمِقْدَادُ، فَأَمَّا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَنَعَهُ اللهُ بِعَمِّهِ أَبِي طَالِبٍ، وَأَمَّا أَبُو بَكْرٍ، فَمَنَعَهُ اللهُ بِقَوْمِهِ، وَأَمَّا سَائِرُهُمْ فَأَخَذَهُمُ الْمُشْرِكُونَ، فَأَلْبَسُوهُمْ أَدْرَاعَ الْحَدِيدِ، وَصَهَرُوهُمْ فِي الشَّمْسِ، فَمَا مِنْهُمْ إِنْسَانٌ إِلَّا وَقَدْ وَاتَاهُمْ عَلَى مَا أَرَادُوا، إِلَّا بِلَالٌ، فَإِنَّهُ هَانَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ فِي اللهِ، وَهَانَ عَلَى قَوْمِهِ، فَأَعْطَوْهُ الْوِلْدَانَ، وَأَخَذُوا يَطُوفُونَ بِهِ شِعَابَ مَكَّةَ، وَهُوَ يَقُولُ أَحَدٌ، أَحَدٌ

“Yang pertama kali menampakan Islamnya 7 orang, Rasulullah, Abu Bakar, ‘Ammaar dan ibunya yaitu Sumayyah, Shuhaib, Bilaal dan al-Miqdaad. Adapun Rasulullah maka Allah melindunginya dengan melalui pamannya Abu Tholib. Adapun Abu Bakar maka Allah melindunginya dengan melalui kaumnya. Adapun sisanya maka ditangkap oleh kaum musyrikin lalu mereka dipakaian baju besi lalu mereka dijemur di bawah terik matahari. Maka tidak seorangpun dari mereka kecuali akhirnya mereka menyetujui keinginan kaum musyrikin (yaitu tiadk menampakan Islam -pen), kecuali Bilal. Maka beliau memandang nyawanya ringan untuk Allah, dan iapun rendah di sisi kaumnya sehingga merekapun menyerahkan Bilal kepada anak-anak, sehingga anak-anakpun meng-arak Bilal di jalan-jalan Mekah, sementara Bilal berkata, “Ahad Ahad (Yang Maha Esa)” (HR Ahmad no 3832 dan dinyatakan hasan oleh para pentahqiq al-Musnad)

Ibnu Ishaaq berkata :

وَكَانَ أُمَيَّةُ بْنُ خَلَفِ بْنِ وَهْبِ بْنِ حُذَافَةَ بْنِ جُمَحٍ يُخْرِجُهُ إذَا حَمِيَتْ الظَّهِيرَ

Artikel asli: https://firanda.com/2554-sirah-nabi-25-gangguan-kaum-musyrikin-quraisy-terhadap-dakwah-nabi.html